Gananews.com ( Penahanan bantuan asing untuk Aceh oleh pemerintah pusat menuai kritik keras dari berbagai pihak. Langkah tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh serta butir-butir kesepakatan damai dalam MoU Helsinki.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, khususnya pada poin 1.3.7 tentang Akses Internasional, secara tegas disebutkan bahwa Aceh memiliki akses langsung dan tanpa hambatan ke negara asing melalui jalur laut dan udara guna memperluas kerja sama internasional.
Ketentuan tersebut dipandang sebagai bentuk pengakuan khusus terhadap Aceh pasca konflik dan perdamaian, termasuk dalam kondisi darurat kemanusiaan seperti bencana alam yang saat ini melanda sejumlah wilayah di Aceh.
Namun demikian, hingga kini pemerintah pusat masih dinilai menahan masuknya bantuan asing ke Aceh. Sikap tersebut memicu kekecewaan dan kemarahan publik karena dianggap memperlambat penanganan penderitaan warga terdampak bencana, Sekjen Forbes Aceh Meusaboh, Amiruddin.
“Jika pemerintah pusat tetap menutup pintu bantuan asing, maka pintu itu seharusnya dibuka oleh pusat sesuai amanat undang-undang. Menahan bantuan sama saja dengan menyengsarakan rakyat Aceh,” ujar Amir. Kepada media ini 19 Desember 2025 di Banda Aceh.
Warga menilai bahwa alasan kedaulatan tidak seharusnya dijadikan dalih dalam situasi darurat kemanusiaan, terlebih Aceh memiliki dasar hukum yang jelas terkait akses internasional sebagaimana diatur dalam UUPA.
Selain Undang-Undang Pemerintahan Aceh, banyak poin dalam Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia yang dinilai belum dijalankan secara konsisten.
Oleh karena itu, Amir ,mendesak pihak-pihak yang tergabung dalam perjanjian damai tersebut untuk angkat bicara dan memberikan penjelasan terbuka kepada publik.
Perhatian khusus ditujukan kepada Jusuf Kalla, yang saat itu menjadi bagian dari delegasi pemerintah Indonesia dalam perundingan damai Helsinki. Perannya dinilai strategis untuk memperjelas makna dan implementasi poin-poin MoU yang kini dipersoalkan.
Kita berharap, Jusuf Kalla dan para tokoh nasional lainnya dapat memberikan penegasan bahwa MoU Helsinki bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan perjanjian yang wajib dihormati dan dijalankan.
Di tengah kondisi darurat, warga Aceh menegaskan bahwa yang dibutuhkan bukan perdebatan politik, melainkan tindakan cepat dan nyata untuk menyelamatkan korban serta mempercepat pemulihan daerah terdampak.
Jika pemerintah pusat terus mengabaikan amanat undang-undang dan perjanjian damai, dikhawatirkan kepercayaan rakyat Aceh terhadap komitmen negara akan semakin terkikis, terutama dalam situasi krisis kemanusiaan seperti saat ini.(**)






