Gananews.com ( Sejumlah diaspora Aceh bersama komunitas Aceh-Sumatra Kultur (ASK) berkumpul di kota Aarhus, kota terbesar kedua di Denmark setelah Kopenhagen. Aarhus dapat ditempuh sekitar tiga jam perjalanan darat dari Kopenhagen, dengan jarak sekitar 300 kilometer.
Pertemuan ini dipusatkan di Mesjid Al Nur yang beralamat di Edwin Rahrs Vej 32, 8220 Aarhus. Para peserta berkumpul untuk melaksanakan ibadah Dzuhur dan Azar, yang merupakan penggabungan waktu shalat Dzuhur dan Ashar secara berjamaah di mesjid tersebut.
Suasana ibadah sedikit berbeda dari tradisi Aceh di Indonesia, di mana kaum laki-laki dan perempuan berada dalam ruangan yang terpisah dengan pintu masuk berbeda. Di Aarhus, mereka tetap menjaga adat tersebut dengan membedakan area dan akses pintu sesuai gender.
Rombongan mulai berkumpul sekitar pukul 13.00 waktu Denmark, melaksanakan shalat berjamaah dengan khidmat. Selepas ibadah, mereka melanjutkan aktivitas dengan makan siang bersama di sekitar lokasi.
Setelah makan, para peserta berbelanja di Bazar Vest, sebuah pusat perbelanjaan besar di Aarhus yang menyediakan berbagai barang impor dari berbagai negara, termasuk Afrika. Tempat ini menjadi pilihan favorit warga diaspora untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kegiatan selanjutnya, rombongan bergerak menuju Tivoli, taman rekreasi permanen di Aarhus. Di sini, anak-anak dan orang dewasa menikmati akhir musim panas dengan berbagai permainan dan hiburan yang tersedia.
Cuaca saat itu cerah dengan suhu mencapai 18 derajat Celsius, meski di sore hari sempat turun gerimis ringan. Suasana tetap hangat dan penuh keceriaan bagi seluruh anggota komunitas.
Momen kebersamaan ini ditutup dengan sesi foto bersama sambil memegang bendera Bintang Bulan, simbol identitas komunitas Aceh di Denmark. Bendera ini menjadi lambang penting yang memungkinkan mereka eksis dan diterima di negara asing.
Tgk Hanif (Muhammad Hanafiah), Ketua ASK, menegaskan pentingnya simbol tersebut sebagai penanda asal-usul dan identitas mereka. “Identitas sangat penting untuk membedakan kita, apakah berasal dari Indonesia atau khususnya Aceh,” ujarnya.
Ketika seorang warga Denmark bertanya, “Er I komme fra Indonesia?” yang berarti “Apakah kalian dari Indonesia?”, Tgk Hanif dengan tegas menjawab, “Bukan dari Indonesia, kami berasal dari Aceh.”
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunitas Aceh di Denmark sangat menjaga dan menegaskan identitas kultural mereka sebagai bagian dari kekayaan Aceh, bukan hanya sekadar bagian dari Indonesia secara umum.
Kegiatan ini menunjukkan bagaimana diaspora Aceh di Denmark tetap menjaga tradisi, ikatan sosial, dan rasa kebangsaan yang kuat, sekaligus beradaptasi dengan kehidupan di negeri orang.(**)