Aceh di Persimpangan: Meuceuhu atau Meutanoem?

Gananews ( Aceh, provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Sumatra dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia dan Selat Malaka, memiliki sejarah panjang sebagai wilayah yang disegani di dunia. Salah satu buktinya adalah tanah wakaf Baitul Asyi yang didirikan di Mekkah pada tahun 1809 oleh tokoh Aceh, Habib Bugak Asyi. Saat itu, Aceh dikenal luas dengan ungkapan “Aceh Meuceuhu Bansigom Donya” (Aceh terkenal di seluruh dunia).

Namun, masa kejayaan itu kini tinggal cerita. Aceh kini berada di ambang kepastian: apakah akan kembali menjadi “Meuceuhu” (terkenal) atau justru “Meutanoem” (tertanam dan dilupakan)? Di tengah transisi pemerintahan baru, banyak pihak menaruh harapan besar namun juga menyimpan kekhawatiran mendalam.

Pemerintah Aceh saat ini dipimpin oleh dua mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yaitu Mualem dan Dekfad. Namun karena usia pemerintahan mereka yang masih seumur jagung, masyarakat belum bisa memastikan arah kepemimpinan ini. Harapannya, duet ini mampu membawa perubahan nyata bagi seluruh rakyat Aceh.

Menurut Gumarni, S.H., M.Si,
Koordinator Pemenangan Mualem/Dekfad dan Relawan Sahabat Mualem (SM), kepada media ini 29 April 2025 mengatakan, fokus utama Pemerintah Aceh seharusnya adalah pengentasan kemiskinan. “Orang hebat pun bisa hancur kalau lapar, apalagi masyarakat biasa yang setiap hari dibatasi oleh informasi yang tidak akurat,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan agar Pemerintah Aceh tidak terbuai dengan program-program investasi yang belum memiliki komitmen kerja sama yang jelas. Jika pemerintah terlalu fokus mengundang investor tanpa memperhatikan kepastian bagi masyarakat, dikhawatirkan akan muncul gejolak sosial baru.

“Kita butuh kepastian, bukan sekadar rencana. Kebijakan harus memihak rakyat kecil, bukan hanya kelompok tertentu,” tegasnya. Ia mengusulkan agar 70 persen anggaran APBA dialokasikan untuk masyarakat pedesaan, karena sumber konflik sering kali berasal dari ketimpangan di wilayah tersebut.

Gumarni juga menyoroti pola kerja birokrasi yang dinilainya belum efektif. Ia mengkritik kebiasaan kepala dinas yang hanya duduk di balik meja dan menerima laporan tanpa berinteraksi langsung dengan masyarakat. “Mereka harus turun ke lapangan, jangan hanya duduk manis di kantor,” katanya.

Ia juga mengkritik pejabat yang menyamar saat turun ke lapangan dengan mengganti plat mobil dinas. “Kalau mereka tidak berani menampakkan diri di hadapan rakyat, lebih baik mundur saja. Mereka adalah tokoh publik, bukan agen rahasia,” ujarnya.

Pemerintah, menurutnya, harus menunjukkan keberpihakan nyata pada rakyat. Dengan mendapatkan kepercayaan dari publik, Pemerintah Aceh akan lebih mudah menjalankan agenda pembangunan yang adil dan merata.

“Pemerintah harus menyampaikan langsung pada rakyat bahwa mereka ingin mensejahterakan masyarakat, bukan hanya menyusun janji politik,” imbuhnya.

Ia mengingatkan bahwa kepercayaan publik adalah modal utama dalam membangun Aceh yang lebih baik. Jika kesempatan ini disia-siakan, masa depan Aceh bisa dipastikan hanya akan menjadi “Meutanoem” — tertanam dan dilupakan.

Sebagai penutup, Gumarni mengajak seluruh elemen pemerintah untuk bersyukur atas kepercayaan yang diberikan kepada Mualem dan Dekfad. “Turunlah ke lapangan, buktikan bahwa Pemerintah Aceh hadir untuk semua golongan,” pungkasnya.(**)