Mendistorsi Alam Menuai Keseimbangan “Bencana Banjir Kalibaru-Banyuwangi”

Oleh : Andi Purnama

Mendistorsi alam artinya melakukan penyimpangan terhadap mekanisme alam, untuk mengambil keuntungan pribadi atau segelintir pihak, perubahan bentuk alam yang tidak diinginkan oleh alam itu sendiri, maka alam akan mencari titik keseimbangannya.

Kelerengan dan pola alur sungai yang berada pada bagian hulu maupun hilir Banyuwangi, mempunyai karakteristik yang berbeda. Bagian hulu mempunyai karakteristik sungai dengan penampang basah, curam dan kecepatan arus tinggi, menyebabkan gerusan sedimentasi dengan gradasi material batuan berukuran besar.Sedangkan bagian hulu, penampang basah melebar, landai, dan sedimentasi halus.

Andi Purnama Aktivis Senior mengatakan, Banyuwangi termasuk dalam potensi wilayah rawan bencana yang cukup tinggi (banjir, banjir bandang dan tanah longsor) karena letak wilayahnya, pada bentang dan radius gunung berapi (Volanic Landform). Apalagi Kota Banyuwangi, sangat resikonya terhadap potensi banjir dan banjir bandang, volume kiriman air limpasan/run off yang berada di bagian Barat Kota Banyuwangi diperlukan langkah fokus, karena wilayah Banyuwangi berdekatan dengan wilayah Pegunungan Ijen,” ungkapnya. Senin 14/11/2022..

Potensi besar ini, seharusnya menjadi pemetaan dan perhatian “sangat serius”, bila tidak aset lingkungan dan infrastruktur yang terbentuk, akan potensi “luluh lantak” porak poranda dalam sekejab.

Tanda-tanda alam dalam memberikan peringatan, terhadap potensi yang lebih besar datang, alam sudah memberikan tanda sebagai “Early Warning System” dimana “Periode Ulang Banjir Rencana” sudah semakin pendek rentang waktunya, dibandingkan 1-3 dekade sebelumnya, dan dampak yang terjadi, sudah semakin luas baik area dan spot cakupannya,” jelas Andi Purnama

Mengembalikan lagi, fungsi keseimbangan alam, dengan catatan formal legitimasi hukum, melalui Rencana Detail Tata Ruang/RDTR. Bukan RTRW subyektifitas penafsiran hanya “pihak berkuasa”.

Dimana fungsi ruang lindung, konservasi dan hutan produksi, dicatat dan ditegaskan, sebagai mitigasi potensi dan analisa perubahan penyebab bencana.

Manusia dengan jabatan kewenangannya, paling dominan dalam penyebab “Mendistorsi Alam”. Ketika musibah datang, menyalahkan alam hal paling mudah untuk “menyampaikan” ke publik sebagai penyebabnya, supaya tidak lagi perlu jawaban “panjang” yang butuh kemapuan, kompetensi, integritas dan amanah jabatan.

Distorsi alam lebih mengarah pada unsur “moralitas jabatan” seperti halnya “mengkorupsi makan dan minum, itupun nalar sdm nya dibuat “tumpul” bagaimana soal anggaran “besar” terhadap pembangunan lainnya. Apakah tidak menutup kemungkinan “hal yang sama” dilakukan. Manipulasi dokumen fiktif dalam persengkongkolan apapun, semakin “masif sistemik”.

Alam punya cara dalam mengembalikan fungsi keseimbangannya sendiri. Mereka yang diberikan “amanah” ternyata tidak mampu mengelola dan melindungi Masyarakat Banyuwangi, “lemah” dalam berkinerja dan faktor pragmatisme mencari keuntungan sesaat, paradigma “aji mumpung” semakin membudaya. Tanggung jawab sang “pemimpin” terhadap bagaimana tanggung jawab dalam mengelola “mesin besar” tata kelola pemerintahan Banyuwangi.

Audit lingkungan dan sosial, hal yang sangat “urgent” memgembalikan fungsi alam dan menindak setiap pelanggar/supremasi hukum lebih ditegakkan dan presisi, bukan negosiasi diruang “hengkipengki” yang berakhir damai dan tanpa dapat dihentikan bentuk bentuk kejahatan mereka yang merugikan Masyarakat Banyuwangi terhadap pelanggaran fungsi ruang dan ekologi.

Pemberian konsekwensi dan rasa jera, benar benar ditegakkan dan diusut sampai otak pelaku kejahatan. Agar keseimbangan alam dan lingkungan Banyuwangi, dapat kembali pada tatanan keseimbangan, “pungkas Andi Purnama (tim)