Gananews ( Tragedi Gedung KNPI Aceh Utara yang terjadi pada 9 Januari 1999 menjadi salah satu peristiwa kelam dalam sejarah konflik di Aceh. Insiden ini melibatkan penganiayaan terhadap warga sipil yang ditahan di Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) oleh aparat keamanan. Akibatnya, lima orang meninggal dunia, 23 luka berat, dan 21 lainnya mengalami luka ringan.
Peristiwa tersebut terjadi dalam situasi ketegangan tinggi pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Konflik antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata meningkat, terutama setelah penggerebekan Desa Pusong dan Kandang di Lhokseumawe pada 3 Januari 1999. Operasi itu bertujuan mencari kelompok bersenjata pimpinan Ahmad Kandang, yang berujung pada tewasnya beberapa warga sipil dan puluhan lainnya terluka. Warga yang ditangkap kemudian ditahan sementara di Gedung KNPI.
Pada 9 Januari 1999, saat waktu berbuka puasa, para tahanan di Gedung KNPI menerima makanan. Namun, suasana berubah mencekam ketika puluhan tentara masuk ke aula penahanan dan mulai melakukan penganiayaan. Dua tahanan tewas seketika akibat siksaan berat, sementara lainnya mengalami luka parah.
Korban yang luka berat kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sayangnya, tiga orang di antaranya meninggal dunia akibat luka yang mereka derita. Kejadian ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk pegiat hak asasi manusia yang menuntut akuntabilitas dari pihak militer.
Kolonel Inf. Jhonny Wahab, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Korem 011 Lilawangsa, menyayangkan insiden tersebut. Ia memerintahkan penyelidikan dan penindakan terhadap aparat yang terlibat. Sebanyak 50 tentara diduga terlibat dalam penganiayaan ini dan sempat ditahan, dengan kemungkinan diajukan ke pengadilan militer.
Namun, langkah tersebut dinilai tidak cukup oleh masyarakat dan aktivis HAM. Mereka menuntut pertanggungjawaban lebih luas dari jajaran TNI yang bertugas di Aceh pada masa itu. Peristiwa ini menjadi simbol dari kerentanan masyarakat sipil terhadap kekerasan selama periode konflik.
Muhammad Hanafiah, atau yang dikenal sebagai Tgk Hanif, selaku perwakilan Diaspora Aceh, mengecam keras peristiwa Gedung KNPI tersebut. Menurutnya, kekejaman semacam ini tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di daerah lain seperti Papua dan Maluku.
“Kami Aceh, Papua, dan Maluku bersatu untuk menuntut Indonesia atas kekejaman terhadap rakyat di tiga wilayah ini. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan Maluku yang hingga kini belum mendapatkan keadilan,” ujar Tgk Hanif.
Ia juga mengajak seluruh diaspora Aceh, Maluku, dan Papua untuk tetap semangat memperjuangkan keadilan. Tgk Hanif menegaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti meski dihadapkan pada berbagai tantangan.
Harapannya, kasus-kasus pelanggaran HAM ini dapat dibawa ke Mahkamah Internasional (ICC) di Den Haag agar keadilan bagi para korban dapat ditegakkan. “Kami akan terus berjuang, bersama-sama membawa Indonesia ke meja hijau untuk mempertanggungjawabkan tindak kekerasan yang telah terjadi,” tambahnya.
Tragedi Gedung KNPI Aceh Utara tidak hanya menjadi cerminan kekerasan selama konflik di Aceh, tetapi juga melambangkan keharusan untuk memperjuangkan keadilan bagi para korban. Masyarakat berharap peristiwa ini menjadi pengingat agar sejarah kelam tidak lagi terulang di masa depan.”(**)