Gananews ( Forum Komunikasi Persatuan Pemuda Aceh (FKPP-A) angkat bicara terkait kebijakan pertama Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau Muallem, setelah dilantik. Ketua FKPP-A, Razali, menilai bahwa Pertamina tidak menunjukkan sikap yang menghargai keputusan tersebut.
Razali menegaskan bahwa Muallem bukanlah sosok pemimpin baru di Aceh. Sebagai mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muallem telah menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah pusat terhadap Aceh. “Beliau dan pasukannya telah mengalami berbagai tekanan mental berat selama konflik yang berlangsung hampir 25 tahun,” ujar Razali, yang akrab disapa Kingli.
Menurut Kingli, kebijakan penghapusan QR Code dalam pembelian BBM bersubsidi sudah mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Ia mempertanyakan manfaat sebenarnya dari sistem QR Code tersebut. “Jika QR Code ini digunakan sebagai bukti penerima subsidi, siapa yang memastikan bahwa subsidi benar-benar sampai ke pihak yang berhak?” katanya.
Lebih lanjut, ia menilai sistem ini justru membuka peluang penyalahgunaan. “Siapa saja yang memiliki QR Code bisa mengakses subsidi, bahkan tidak sedikit petugas SPBU yang memiliki beberapa cetakan atau foto barcode yang bisa digunakan oleh pelanggan dengan membayar lebih,” ungkapnya.
FKPP-A menyoroti kurangnya transparansi dari Pertamina mengenai penerapan sistem ini sejak 2022. Kingli menegaskan bahwa QR Code tidak memiliki fungsi yang jelas dalam efisiensi distribusi BBM bersubsidi di Aceh. “Sejauh ini, saya melihat QR Code lebih banyak menimbulkan masalah dibanding manfaat. Jadi, lebih baik dicabut saja,” tegasnya.
Ia juga menyoroti kurangnya ketegasan dari Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam menyikapi persoalan ini. Menurutnya, DPRA seharusnya segera membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas kebijakan gubernur dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait QR Code.
Kingli mengingatkan bahwa jika Pertamina tetap bersikap arogan dan tidak menghormati kebijakan Muallem, maka sudah seharusnya ada langkah konkret yang diambil oleh pemerintah Aceh. “Jika Pertamina tidak mau bekerja sama dengan baik, mengapa tidak mencari alternatif lain?” ujarnya.
Ia menyarankan agar Aceh mempertimbangkan opsi lain, seperti mengajak perusahaan minyak internasional seperti Petronas untuk masuk ke Aceh. “Jangan hanya minyak Aceh dikuras ke pusat, sementara keistimewaan Aceh diabaikan,” katanya dengan nada kecewa.
Selain itu, ia menyoroti perlunya kajian mendalam terkait kebijakan distribusi BBM di Aceh. “Pemerintah Aceh harus mengambil langkah strategis agar Aceh bisa lebih mandiri dalam mengelola sumber daya energi yang dimilikinya,” tambahnya.
Kingli juga meminta agar masyarakat Aceh tetap bersatu dalam memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam mendapatkan BBM bersubsidi yang lebih transparan dan adil. “Jangan sampai rakyat Aceh terus menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka,” ujarnya.
Di akhir pernyataannya, ia menegaskan bahwa FKPP-A akan terus mengawal kebijakan ini dan menekan pemerintah serta DPRA agar bertindak lebih serius. “Kami ingin kebijakan ini dijalankan dengan baik demi kepentingan rakyat Aceh,” pungkasnya.(**)